Filosofi tembang "dayohe teko"
Bengkah.com - Sedulur warga bengkah sedoyo pripun kabare, mugi tansah pinaringan sehat wal afiyat, lancar rejekinipun sedoyo. Amiin..
Pada artikel kali ini mimin akan menulis tentang makna sebuah tembang / lagu yang menjadi tuntunan kita semua, terutama pada saat ini, dimana kita sudah masuk musim penghujan (rendeng).
Memasuki musim penghujan ini kita semua harus waspada, jaga kesehatan dan jaga alam disekitar kita, agar kita dijauhkan dari segala penyakit dan musibah, terutama musibah banjir.
Mari kita belajar dari tembang / lagu dibawah ini, dan semoga kita bisa mengambil hikmah serta mengamalkan dari filosofi tembang tersebut.
Ee.. dayohe teko…ee gelarno kloso
ee.. klasane bedah…ee tambalno jadah..
ee.. jadahe mambu .. ee pakakno asu…
ee..asune mati …ee guwakno kali..
ee.. kaline banjir.. ee guwak neng pinggir..
Arti kata dan kalimat Tembang Dayoh adalah:
Dayohe teko : Tamunya datang.
Gelarno kloso : digelarkan tikar.
Klosone bedah : tikarnya robek
Tambalno jadah : Ditambal jadah (ketan).
Jadahe mambu : Ketannya bau
Pakakno asu : kasihkan ke anjing.
Asune mati : anjingnya mati.
Guwakno kali : buang ke kali
Kaline banjir : kalinya banjir.
guwak ning pinggir : buang di pinggir.
Filosofi Tembang Dayohe Teko tersebut diatas sejatinya sebagai sindirin buat manusia serakah yang masih tidak sadar dengan perbuatannya sendiri, saling menyalahkan orang lain, dan tidak mau belajar dari pengalaman masa lalu. Tamu agung yang seharusnya disambut dengan karpet merah, tetapi sang tuan rumah malah menyepelekan, berkutat pada kegiatan yang tidak terpuji, yaitu membuang “bangkai anjing”.
Salah kaprah kehidupan inipun, dikarenakan banyak pejabat negara yang tidak memperhatikan nasib rakyatnya. Banyak pekerja atau tukang yang “suka ngapusi”, dan para cerdik cendekia yang hanya mengejar kepuasan duniawi, tidak mau belajar hakikat hidup. Sehingga alam menjadi murka, mengirimkan bencana banjir, tanah longsor supaya manusia sadar atas tingkah lakunya yang tidak benar selama ini.
Pesan moral dari Tembang Dayohe Teko tersebut ditujukan kepada seorang pemimpin, cerdik cendekia supaya mau mawas diri, dan menjalankan ibadah wajib kepada Allah SWT. Bukan hanya sebagai bahan renungan dan permasalahan yang dianggap sepele. Seperti bahan gosip murahan yang sering kita dengar dari tetangga rumah.
Begitulah filosofi tambang Dayohe Teko, yang sering kita nyanyikan waktu kecil. Dimana tembang tersebut mempunyai arti yang mendalam terhadap mereka yang telah dituakan. Supaya bekerja dengan profesional, tidak hanya basa basi, mementingkan dirinya sendiri, keluarga, dan kelompoknya saja. Serta lupa akan kewajibannya yang utama yaitu menjalankan kewajiban dengan tulus ikhlas, supaya menjadi manusia berbudi pekerti luhur.
Semoga niat baik dan tulisan yang singkat ini akan membuka mata batin kita semua. Sudah saatnya kita berserah diri, berdo’a memohon petunjuk agar dijauhkan dari bencana. Karena semua itu berpulang kepada diri kita sendiri, yang selalu bangga dan bangga dengan perbuatan salah dan dosa.
Pesan moral dari Tembang Dayohe Teko tersebut juga kami tujukan kepada calon Kepala Daerah yang mau maju di bursa Pilkada serentak 2020. Berkontestasi, dan berdemokrasilah dengan santun, utamakan akal sehat dan menjunjung tinggi jiwa ksatria. Jangan menghalalkan segala cara, menebar “black campaign, money politic”. Siapapun nantinya calon orang nomor satu didaerah yang mendapat kepercayaan dari masyarakat jangan juwawa, dan yang masih belum beruntung harus legowo.
Sekali lagi, semoga tulisan singkat ini ada manfaatnya khususnya buat saya pribadi, kaum cendekiawan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan calon Kepala Daerah. Filosofi Tembang Dayohe Teko ini mari kita jadikan sebagai kritik yang sifatnya membangun. Bagaimana pendapat Sedulur semua?
Tetap semangat sahabatku, salam hangat dari kami.
BBC (Blogger Bengkah Community)
0 Response to "Filosofi tembang "dayohe teko" "
Post a Comment