Revolusi Industri 4.0: Peluang dan Tantangan Bagi Perempuan
Wednesday, November 28, 2018
Edit
“Digitalisasi, computing power dan data analytic telah melahirkan terobosan-terobosan yang mengejutkan di berbagai bidang, yang men-disrupsi (mengubah secara fundamental) kehidupan kita. Bahkan men-disrupsi peradaban kita, yang mengubah lanskap ekonomi global, nasional, dan daerah serta laskap politik global, nasional dan daerah. Lanskap interaksi global, nasional, dan daerah. Semuanya akan berubah.” (Presiden Jokowi, 16 Februari 2018, Sumber: www.merdeka.com)
Pendahuluan: Memahami Revolusi Industri 4.0.
Adalah Prof Klaus Schwab, Ekonom terkenal asal Jerman, dalam bukunya, “The Fourth Industrial Revolution” untuk pertama kalinya mengenalkan konsep Revolusi Industri 4.0 (generasi keempat). Prof Schawab (2017) menjelaskan revolusi industri generasi ke-4 ini memiliki skala, ruang lingkup dan kompleksitas yang lebih luas.
Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan dunia fisik, digital dan biologis telah mempengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, industri dan pemerintah. Bidang-bidang yang mengalami terobosoan berkat kemajuan teknologi baru diantaranya (1) kecerdasan buatan (artificial intelligence), (2) teknologi nano, (3) bioteknologi, dan (4) teknologi komputer kuantum, (5) blockchain (seperti bitcoin), (6) teknologi berbasis internet, dan (7) printer 3D.
Revolusi industri 4.0 merupakan fase keempat dari perjalanan sejarah revolusi industri yang dimulai pada abad ke -18. Menurut Prof Schwab, dunia mengalami empat revolusi industri.
Revolusi industri 4.0 merupakan fase keempat dari perjalanan sejarah revolusi industri yang dimulai pada abad ke -18. Menurut Prof Schwab, dunia mengalami empat revolusi industri.
Revolusi industri 1.0 (generasi ke-1) ditandai dengan penemuan mesin uap untuk mendukung mesin produksi, kereta api dan kapal layar. Berbagai peralatan kerja yang semula bergantung pada tenaga manusia dan hewan kemudian digantikan dengan tenaga mesin uap. Dampaknya, produksi dapat dilipatgandakan dan didistribusikan ke berbagai wilayah secara lebih masif.
Ditemukannya energi listrik dan konsep pembagian tenaga kerja untuk menghasilkan produksi dalam jumlah besar pada awal abad 19 telah menandai lahirnya revolusi industri 2.0 (generasi ke-2). Energi listrik mendorong para imuwan untuk menemukan berbagai teknologi lainnya seperti lampu, mesin telegraf, dan teknologi ban berjalan. Puncaknya, diperoleh efesiensi produksi hingga 300 persen.
Revolusi industri 3.0 (generasi ke-3) ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat pada awal abad 20. Di mana perkembangan tersebut telah melahirkan teknologi informasi dan proses produksi yang dikendalikan secara otomatis. Mesin industri tidak lagi dikendalikan oleh tenaga manusia tetapi menggunakan Programmable Logic Controller (PLC) atau sistem otomatisasi berbasis komputer. Dampaknya, biaya produksi menjadi semakin murah. Teknologi informasi juga semakin maju diantaranya teknologi kamera yang terintegrasi dengan mobile phone dan semakin berkembangnya industri kreatif di dunia musik dengan ditemukannya musik digital.
Revolusi industri mengalami puncaknya saat ini dengan lahirnya teknologi digital yang berdampak masif terhadap hidup manusia di seluruh dunia. Revolusi industri terkini atau generasi keempat (revolusi industri 4.0) mendorong sistem otomatisasi di dalam semua proses aktivitas. Teknologi internet yang semakin masif tidak hanya menghubungkan jutaan manusia di seluruh dunia tetapi juga telah menjadi basis bagi transaksi perdagangan dan transportasi secara online. Munculnya bisnis transportasi online seperti Gojek, Uber dan Grab, maupun online shop seperti Tokopedia, Lazada, Buka Lapak, dan sebagainya menunjukkan integrasi aktivitas manusia dengan teknologi informasi dan ekonomi menjadi semakin meningkat.
Berkembangnya teknologi autonomous vehicle (mobil tanpa supir), drone, aplikasi media sosial, bioteknologi dan nanoteknologi semakin menegaskan bahwa dunia dan kehidupan manusia telah berubah secara fundamental.
Ciri Revolusi Industri 4.0
Seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, revolusi industri 4.0 telah mendorong inovasi-inovasi teknologi yang memberikan dampak disrupsi atau perubahan fundamental terhadap kehidupan masyarakat. Perubahan-perubahan tak terduga menjadi fenomena yang akan sering muncul pada era revolusi indutsri 4.0.
Kita menyaksikan pertarungan antara taksi konvensional versus taksi online atau ojek pangkalan vs ojek online. Publik tidak pernah menduga sebelumnya bahwa ojek/taksi yang populer dimanfaatkan masyarakat untuk kepentingan mobilitas manusia berhasil ditingkatkan kemanfaatannya dengan sistem aplikasi berbasis internet. Dampaknya, publik menjadi lebih mudah untuk mendapatkan layanan transportasi dan bahkan dengan harga yang sangat terjangkau.
Yang lebih tidak terduga, layanan ojek online tidak sebatas sebagai alat transportasi alternatif tetapi juga merambah hingga bisnis layanan antar (online delivery order). Dengan kata lain, teknologi online telah membawa perubahan yang besar terhadap peradaban manusia dan ekonomi.
Menurut Prof Rhenald Kasali (2017), disrupsi tidak hanya bermakna fenomena perubahan hari ini (today change) tetapi juga mencerminkan makna fenomena perubahan hari esok (the future change). Prof Clayton M. Christensen, ahli administrasi bisnis dari Harvard Business School, menjelaskan bahwa era disrupsi telah mengganggu atau merusak pasar-pasar yang telah ada sebelumnya tetapi juga mendorong pengembangan produk atau layanan yang tidak terduga pasar sebelunya, menciptakan konsumen yang beragam dan berdampak terhadap harga yang semakin murah. Dengan demikian, era disrupsi akan terus melahirkan perubahan-perubahan yang signifikan untuk merespon tuntutan dan kebutuhan konsumen di masa yang akan datang.
Perubahan di era disrupsi menurut Prof Kasali (2017) pada hakikatnya tidak hanya berada pada perubahan cara atau strategi tetapi juga pada pada aspek fundamental bisnis. Domain era disrupsi merambah dari mulai struktur biaya, budaya hingga pada ideologi industri. Implikasinya, pengelolaan bisnis tidak lagi berpusat pada kepemilikan individual, tetapi menjadi pembagian peran atau kolaborasi atau gotong royong. Di dalam dunia perguruan tinggi, fenomena disrupsi ini dapat kita lihat dari berkembangnya riset-riset kolaborasi antar peneliti dari berbagai disiplin ilmu dan perguruan tinggi. Riset tidak lagi berorientasi pada penyelesaian masalah (problem solving) tetapi didorong untuk menemukan potensi masalah maupun potensi nilai ekonomi yang dapat membantu masyarakat untuk mengantisipasi berbagai masalah sosial ekonomi dan politik di masa depan.
Tantangan Revolusi Industri 4.0
Revolusi industri generasi empat tidak hanya menyediakan peluang, tetapi juga tantangan bagi generasi milineal. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pemicu revolusi indutri juga diikuti dengan implikasi lain seperti pengangguran, kompetisi manusia vs mesin, dan tuntutan kompetensi yang semakin tinggi.
Menurut Prof Dwikorita Karnawati (2017), revolusi industri 4.0 dalam lima tahun mendatang akan menghapus 35 persen jenis pekerjaan. Dan bahkan pada 10 tahun yang akan datang jenis pekerjaan yang akan hilang bertambah menjadi 75 persen. Hal ini disebabkan pekerjaan yang diperankan oleh manusia setahap demi setahap digantikan dengan teknologi digitalisasi program.
Dampaknya, proses produksi menjadi lebih cepat dikerjakan dan lebih mudah didistribusikan secara masif dengan keterlibatan manusia yang minim. Di Amerika Serikat, misalnya, dengan berkembangnya sistem online perbankan telah memudahkan proses transaksi layanan perbankan. Akibatnya, 48.000 teller bank harus menghadapi pemutusan hubungan kerja karena alasan efisiensi1.
Bahkan menurut survey McKinsey, sebuah korporasi konsultan manajemen multinasional, di Indonesia sebanyak 52,6 juta lapangan pekerjaan berpotensi digantikan dengan sistem digital. Dengan kata lain, 52 persen angkatan kerja atau merepresentasikan 52,6 juta orang akan kehilangan pekerjaan2.
Secara lebih detail, lapangan pekerjaan yang potensial diotomatisasikan diantaranya usaha pengolahan (manufaturing), perdagangan ritel, transportasi dan pergudangan, tenaga administrasi, konstruksi, layanan makanan dan akomodasi, pertanian, perikanan, dan kehutanan, serta layanan kesehatan dan keuangan/asuransi. Dengan demikian, revolusi industri dapat mengancam makin tingginya pengangguran di Indonesia
.
.
Namun demikian, bidang pekerjaan yang berkaitan dengan keahlian Komputer, Matematika, Arsitektur dan Teknik akan semakin banyak dibutuhkan. Bidang-bidang keahlian ini diproyeksikan sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang mengandalkan teknologi digital.
Situasi pergeseran tenaga kerja manusia ke arah digitalisasi merupakan bentuk tantangan yang perlu direspon oleh para generasi milenial, terutama para perempuan milenial terkait dengan penguasaan teknologi komputer, keterampilan berkomunikasi, kemampuan bekerjasama secara kolaboratif, dan kemampuan untuk terus belajar dan adaptif terhadap perubahan lingkungan.
Posisi Perempuan dalam Revolusi Industri 4.0
Hadirnya Revolusi Industri 4.0 dengan peluang lapangan kerja yang besar dianggap sebagai kesempatan besar untuk meningkatkan pendapatan perempuan. Namun, kenyatannya hingga saat ini, belum banyak perempuan yang terserap dalam industry berbasis digital tersebut. Data terakhir per Februari 2017 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hanya terdapat 30% pekerja perempuan di bidang industri sains, teknologi, engineering, dan matematik.
Sementara itu, hasil studi dari UNESCO tahun 2015, menunjukkan rendahnya tingkat partisipasi pekerja perempuan di bidang industri terutama disebabkan oleh persepsi bahwa lingkungan kerja di industri merupakan domain pekerja laki-laki, yang melibatkan pekerjaan fisik dan tidak menarik bagi pekerja perempuan.
Selain itu, masih banyak lulusan perempuan yang memperoleh gelar terkait industri sains, teknologi, engineering, dan matematika memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mengejar karier di industri dibandingkan laki-laki.
Belum optimalnya partisipasi perempuan dalam era digital tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Pada tingkat global bahkan menjadi masalah karena dianggap sebagai bentuk ketidaksetaraan gender. Kesenjangan akses perempuan terhadap teknologi informasi dan komputer (TIK) dianggap sebagai penghalang partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Apalagi saat ini sekitar 90 persen pekerjaan di pasar kerja membutuhkan ketrampilan TIK. Pasar ini memberikan peluang besar kepada perempuan, namun stereotip gender dan bias gender menghalanginya.
Hal ini agak ironis mengingat para pegiat gender memandang bahwa Teknologi sangat penting untuk kesejahteraan ekonomi perempuan. Dalam pertemuan di Brussel pada tanggal 11 April 2008, yang mengambil tema ‘All on Board – Closing the Digital Gap for Women and Girls in Developing Countries’ disebutkan bahwa teknologi dapat meningkatkan kesejahteraaan wanita karena saat ini terlalu banyak wanita yang miskin.
Perempuan juga kurang terwakili di tingkat pengambilan keputusan dalam tenaga kerja profesional termasuk di bidang teknologi. Apalagi kesenjangan dalam menggunakan internet meningkat dari 11 persen pada tahun 2013 menjadi 12 persen pada tahun 2016.
Apa yang Harus Dilakukan Perempuan?
Dalam Rencana Strategis UN Women, inovasi dan teknologi sebagai penggerak perubahan merupakan prioritas. Dengan begitu diharapkan pada tahun 2021 terdapat perubahan yang signifikan, mulai dari peningkatan perempuan yang terhubung dengan digitalisasi industri hingga jumlah wanita dalam angkatan kerja yang memberikan layanan revolusi industry 4.0.
Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan akses perempuan dalam dunia digital karena ITU (lembaga PBB untuk informasi dan komunikasi)menemukan bahwa persentase perempuan dalam pekerjaan komputasi telah menurun sejak 1991, ketika perempuan memegang 36 persen dari pekerjaan ini menjadi hanya 25 persen pada 2015. Oleh karena itu upaya untuk memecahkan stereotip dan menciptakan akses yang berarti ke TIK pada anak perempuan dan perempuan harus dimulai sejak dini.
Pendidikan perempuan di sektor TIK dianggap akan mempercepat tercapainya kesetaraan gender yang juga menjadi tujuan dari Pembangunan Berkelanjutan yang dicanangkan oleh PBB. Langkah ini akan meningkatkan pemberdayaan perempuan melalui pekerjaan di sektor TIK sehingga akan mengentaskan perempuan dari kemiskinan.
Selain itu juga memberi peluang pada perempuan untuk meniti karir pada tingkat menegah dan tinggi, bahkan memungkinkan perempuan yang berbakat untuk melompat ke puncak karir. Kondisi ini akan memberikan dampak yang bagus untuk semua orang.
Oleh karena itu, berbagai upaya untuk meningkatkan akses perempuan terhadap TIK sejatinya adalah demi peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Para pegiat gender meyakini meningkatnya partisipasi perempuan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan akan membawa kesejahteraan.
Sebab data infografik PBB dari data tahun 2015, yang menunjukkan jumlah laki-laki yang bekerja sebesar 76,1%, sementara perempuan yang bekerja hanya 49,6%. Maka, jika perempuan memainkan peran yang sama seperti laki-laki dalam pasar kerja, maka akan menambah PDB tahunan sebesar 28 trilliun dollar Amerika pada tahun 2025.
Reorientasi Pilihan Pendidikan dan Minat Perempuan
Co-founder “Think.Web” Anantya Van Bronckhorst berpendapat bahwa pilihan profesi biasanya juga ditentukan oleh pilihan pendidikan dan kebanyakan pilihan pendidikan yang diambil oleh pendidikan dan minat perempuan terhadap dunia komputer atau teknologi masih kurang.
Menurutnya membuka wawasan akan pilihan dan opsi pada anak perempuan mengenai pilihan profesi di bidang digital bisa menjadi salah satu langkah yang bisa ditempuh.
Sebab, bila tidak dimulai sejak dini, bisa jadi perempuan merasa bisnis digital itu sesuatu yang rumit dan sulit untuk dimulai sehingga mereka merasa takut duluan. Kedua, perbedaan prioritas dalam manajemen waktu antara pria dan wanita. Dan yang terakhir, masih kurangnya role model perempuan yang menjalankan bisnis digital.
Sementara pendiri BerryKitchen Cynthia Tenggara melihat hal ini lebih kepada kultur yang sangat timur perempuan itu identik “kodratnya” menjadi ibu rumah tangga, mengurus rumah, dan mengurus anak. Makanya mereka cenderung tidak terlalu ambisius mengejar karier.
Kesimpulan
Revolusi industri saat ini memasuki fase keempat (4.0). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan manusia. Banyak kemudahan dan inovasi yang diperoleh dengan adanya dukungan teknologi digital. Layanan menjadi lebih cepat dan efisien serta memiliki jangkauan koneksi yang lebih luas dengan sistem online. Hidup menjadi lebih mudah dan murah.Namun demikian, digitalisasi program juga membawa dampak negatif. Peran manusia setahap demi setahap diambil alih oleh mesin otomatis. Akibatnya, jumlah pengangguran semakin meningkat. Lebih spesifik lagi, peran perempuan milenial dalam arus revolusi industry 4.0 tersebut masih sangat minim. Padahal kaum perempuan punya potensi besar sebagai pemain utama dalam pasar teknologi.
Penyebab kenapa perempuan milenial masih minim terlibat secara aktif dalam revolusi industri 4.0 adalah karena akses mereka yang masih kecil kepada dunia digital (teknologi informatika dan matematika).
Oleh karena itu, untuk memanfaatkan peluang dan menjawab tantangan revolusi industri 4.0, para perempuan milenial wajib memiliki kemampuan literasi data, teknologi dan manusia3 (/). Literasi data dibutuhkan oleh alumni UT untuk meningkatkan skill dalam mengolah dan menganalisis big data untuk kepentingan peningkatan layanan publik dan bisnis.Literasi teknologi menunjukkan kemampuan untuk memanfaatkan teknologi digital guna mengolah data dan informasi. Sedangkan literasi manusia wajib dikuasai karena menunjukan elemen softskill atau pengembangan karakter individu untuk bisa berkolaborasi, adaptif dan menjadi arif di era “banjir” informasi.